Kamis, 05 Januari 2012
Kekerasan Agama Kembali Terjadi
Massa yang mengaku berasal dari kelompok Sunni membakar beberapa rumah, satu musholla, dan Madrassah Misbahul Huda milik warga Syiah di Sampang, Madura hari Kamis pagi (29/12).
Seorang pengurus madrasah Iklil al-Milal mengatakan massa mulai berdatangan sekitar pukul 10.00 WIB dan langsung melakukan pembakaran.
"Sebelumnya kami sudah mendengar adanya kabar tidak baik dan langsung mengungsikan para siswa dan pengurus," kata Iklil.
Kelompok Syiah, lanjut Iklil, menghadapi intimidasi selama lima tahun terakhir namun tindak kekerasan seperti ini baru pertama terjadi.
Humas Polda Jawa Timur Kombes Rahmat Mulyana mengatakan polisi menjaga lokasi kejadian setelah aksi pembakaran.
"Tiga rumah dan satu mushola yang ditempati oleh kelompok Syiah dibakar, menurut informasi, pembakaran dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Sunni," jelas Rahmat Mulyana.
Pembakaran di Sampang merupakan salah satu dari serangkaian kekerasan yang mengatasnamakan agama di Indonesia.
Pada Februari 2011 terjadi penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Jawa Barat.
Pada bulan yang sama tiga gereja di Temanggung, Jawa Tengah diserang. Dan ketegangan sektarian di Ambon timbul tenggelam.
Komentar
Bagaimana komentar Anda mengenai kekerasan agama di Indonesia?
Apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk mencegah kekerasan seperti ini timbul?
Apakah langkah-langkah pihak berwenang sudah memadai?
Atau Anda mempunyai saran cara-cara terbaik dan efektif mencegah kekerasan atas nama agama?
Sampaikan pendapat Anda di kolom yang tersedia. Jangan lupa cantumkan nama, kota dan nomor telepon sehingga kami bisa menghubungi untuk merekam komentar Anda.
Anda juga dapat menulis komentar melalui SMS dengan nomor +44 7786 20 00 50, dengan tarif sesuai yang ditetapkan operator telepon seluler Anda.
Pendapat Anda
"Ciri Indonesia adalah mudah tersulut issue SARA, meledak-ledak dan panic. Kurangnya perhatian Pemda berakibat mudahnya benturan terjadi." Muhamad Dony, Bekasi.
"Massa grass root yang sempit wawasan karena terbatasnya pendidikan ditambah beban kesulitan ekonomi serta penegakan hukum yang tidak tegas mempermudah emosi mereka dibakar baik antar sesama penganut maupun terhad lain penganut agama." Widodo, Jakarta.
"Wah ini merupakan penyimpangan interpretasi tentang keyakinan suatu golongan merasa kelompoknya yang paling benar, padahal ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW merupakan rahmat/kedamaian bagi seluruh alam/dunia. Dan satu lagi, seolah-olah agama itu merupakan komoditi untuk mencari keuntungan elit politik sehingga setiap suatu kebijakan apabila mencatut nama Tuhan akan mulus. Dan pemahaman ajaran agama sengaja didangkalkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu." Drs. Sukadi, Medan.
"1. Bukan hanya di Indonesia, tetapi bahkan di seluruh pelosok belahan bumi. Kerusuhan yang mengatasnamakan agama, merupakan suatu kebudayaan sejak dahulu kala. 2. Masyarakat harus mampu membedakn kebutuhan dan keinginan." Tuaputty, Ambon.
"Seharusnya semua elemen masyarakat harus terlibat dalam menjaga kerukunan umat beragama. Dan para pemegang kepentingan harus menjamin hak-hak kaum minoritas. Masyarakat kita harus segera merubah mindset bahwa yang berhak
menghukum hanya Tuhan semata. Manusia tidak berhak untuk main sendiri. Karena pada haqikatnya manusia tiada yang sempurna." Indracip Jaya, Bekasi.
"Selama puluhan tahun orang Indonesia dibuat bodoh dan miskin sehingga gampang dihasut dan diadu domba." Agus S, Jakarta.
"Reformasi telah gagal, demokrasi cenderung brutal dan salah arah, filosofi berbangsa dan bernegara dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika telah diabaikan. Pemerintah terkesan tak berdaya menumpas fundamentalis karena sarat kepentingan politis berselimut agama. Polisi yang canggih membongkar terorisme dan narkoba, amat impoten jika membongkar kasus SARA. Ada apa? RUU Keamanan Negara mutlak diperlukan, bubarkan ormas anarkis berkedok agama dan kembali ke filosofi dasar NKRI dengan reformasi up to date." AG Paulus, Purwokerto.
"Menurut saya, masalah ini terjadi karena kurang melekatnya budaya pluralisme di Indonesia. Sebagai contoh orang tua sekarang banyak yang memasukkan anaknya ke sekolah mono religi seperti pesantren, madrasah, sekolah Kristen ataupun sekolah Katolik. Jika di masa pertumbuhannya anak-anak hanya berkenalan dengan satu budaya, satu agama, satu etnis, satu kebiasaan, apakah mungkin di saat dewasa bisa menghargai perbedaan? Kita harus mengembangkan pluralisme untuk kedamaian bersama." Hindarko Luh Setyawanto, Surabaya.
"Saya sedih sekali mendengar berita semacam ini terjadi lagi. Dulu jemaat Ahmadiyah, gereja dibakar, gereja dilarang, eh sekarang, seperti di Irak saja. Sunni dan Syiah ribut. Apa sih yang mau ditunjukkan. Kalau mau orang tetap memegang keyakinanmu, maka tunjukkanlah dengan kebaikan dan kedamaian, bukan dengan kekerasan dan kerusuhan. jadi malu deh." Deny, Tangerang.
"Perlu diadakannya pendidikan kemajemukan di sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, agar saudara-saudara kita bisa melihat dunia lebih obyektif lagi dan tidak terjebak primordialisme yang berlebihan." Tresna Nano, Cirebon.
Diposting oleh
B.A.G.U.S
di
16.55
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
0 komentar:
Posting Komentar