Senin, 27 Juni 2011

Ibnu Haitham, Bapak Optik Pertama


Ibnu Haitham atau nama sebenarnya Abu All Muhammad Al-Hasan Ibnu Al-Haitham, atau dalam kalangan cerdik pandai di barat dikenal dengan nama Alhazen, adalah seorang ilmuwan islam yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Ia orang pertama yang banyak melakukan penelitian tentang cahaya sehingga memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Roger, Bacon, dan Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop. Hasil penelitiannya dibukukan dalam kitabnya Al-Manazir (Book of Optics) pada 1021 Masehi, 600 tahun sebelum kelahiran Kepler. Dalam kitab Abjad Al-Ulum karangan Al-Qannuji jilid 2 halaman 519, ditulis bahwa Ilm Al-Manazir atau ilmu optik adalah sebuah ilmu yang dengannya diketahui sebab terbalik penglihatan mata dengan cara mengetahui kejadian yang didasarkan pada pengetahuan penglihatan melalui garis sinar bagian atas yang dilakukan orang yang melihatnya. Sedang bagian bawah terlihat setelah terjadi sesuatu yang terbalik sehingga nampak kecil benda yang jauh.

Dalam kata lain, dengan menggunakan metode matematika dan fisika modern, Ibn Al-Haitham dapat membuat eksperimen yang tepat. Ia telah meletakkan dasar-dasar optik yang kokoh dengan menggabungkan teori dan eksperimen dalam penelitiannya. Dalam penelitian tersebut, ia mempelajari gerakan cahaya, fitur bayang, foto, dan banyak lagi gejala optis yang penting. Ia menolak teori Ptolemy dan Euclid yang mengatakan manusia melihat benda melalui pancaran cahaya yang keluar dari matanya. Menurut Ibnu Al-Haitham, bukan mata yang memberikan cahaya tetapi benda yang dilihat memantulkan cahaya ke mata manusia. Karena kehebatan Ibnu Al-Haitham menjelaskan optik, RL Verma dalam bukunya “Al-Hazen: Bapak Modern Optics”, menjulukinya sebagai bapak optik modern. Rosanna Gorini dalam tulisannya “Al-Haytham The Man of Experience”, menyebutnya sebagai pelopor metode ilmiah modern. Al-Qannuji mengatakan bahwa banyak ilmuwan Yunani yang menulis tentang ilmu optik, namun masih kalah dengan Ibn Al-Haitham. Ia menulis karyanya setelah melakukan satu lakon yang hanya ia sendiri yang tahu sebab musababnya.

Dikisahkan karena kemasyhurannya sebagai ilmuwan ia diundang pemerintah Dinasti Fatimiyyah, Al-Hakim Amirillah ke Mesir untuk menyelesaikan tugas itu karena kurang peralatan. Untuk menyelamatkan diri dari kemarahan Al-Hakim, ia pura-pura gila sampai Al-Hakim meninggal pada 1021 Masehi. Pada tahun itu juga buku Al-Manazir selesai ditulisnya. Ibn Al-Haitham memiliki banyak karya. Ia menulis tidak kurang 200 judul buku berkaitan dengan ilmu fisika dan matematika. Selain itu sebagian besar diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa. Beberapa pandangan dan pendapatnya masih relevan hingga saat ini. Kajian Ibn Al-Haitham telah memberikan landasan bagi perkembangan ilmu sains. Diantara karyanya yang terkenal adalah Al’Jami’fi Usul Al’Hisab yang berisi teori ilmu matematika dan analisa matematika, Al-Tahlil Wa Al’Tarkib mengenai ilmu geometri, Tahlil Ai’Masa’il Al’Adadiyah tentang aljabar, Maqalah Fi Istikhraj Simat Al’Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat, Maqalah Fima Tad’u Ilahi mengenai penggunaan geometri dalam urusan hokum syarak, dan Risalah Fi Sina’at Al-Syi’r mengenai teknik penulisan puisi.

Cinta Ilmu

Ibnu Al-Haitham dilahirkan di Basrah pada tahun 354 H bertepatan dengan 965 Masehi. Ia memulai pendidikannya di Basrah sebelum dilantik menjadi pegawai pemerintah di kota kelahirannya. Setelah beberapa lama mengabdi di pemerintahan disana, ia mengambil keputusan untuk merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Di perantauan ini ia melanjutkan kajian dan menumpukan perhatian pada penulisan. Kecerdasan Ibnu Haitham terbukti ketika menjadi siswa dengan kecenderungan terhadap berbagai ilmu. Ia tidak jemu apakah agama atau ilmu matematika, fisika, astronomi, kedokteran, filsafat, dan mantik. Ia pernah ke Andalusia (Spanyol), kiblat ilmu pengetahuan Eropa pada waktu itu. Disana ia mempelajari bidang optik sehingga terkenal. Kecintaannya kepada ilmu juga membawanya berhijrah ke Mesir. Selama disana ia melakukan penelitian mengenai aliran dan saluran Sungai Nil serta menyalin buku-buku mengenai matematika dan falak. Tujuannnya adalah untuk mendapatkan uang demi menempuh perjalanan menuju Universitas Al-Azhar. Hasil dari usaha itu menyebabkannya mahir dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan falsafah.

Tulisannya mengenai mata menjadi salah satu rujukan yang penting dalam bidang kajian sains di Barat. Malah kajiannya mengenai pengobatan mata menjadi pondasi bagi kajian pengobatan modern mengenai mata. Beberapa karyanya mengenai cahaya diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul “Light” dan “On Twilight Phenomena”. Kajiannya ini banyak membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana. Menurut Ibnu Al-Haitham, cahaya fajar muncul saat matahari berada di garis 19 derajat di ufuk timur. Warna merah pada senja akan hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Dalam kajiannya itu ia berhasil menemukan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya. Ibnu Haitham juga melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar dan dari sana muncul teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para sains di Itali untuk menghasilkan kaca pembesar yang pertama di dunia. Yang lebih menakjubkan Ibnu Haitham menemukan prinsip isi kubik udara sebelum seorang peneliti atau saintis bernama Tricella, mengetahui masalah ini 500 tahun kemudian. Ia juga menemukan adanya gaya tarik gravitasi sebelum Isaac Newton mengetahuinya.
Selain itu, teori Ibnu Haitham mengenai jiwa manusia sebagai satu urutan perasaan yang menyambung secara teratur telah memberikan ilham kepada peneliti atau saintis barat untuk menghasilkan bayangan gambar. Teorinya ini membawa pada penemuan film. Selain sains, Ibnu Haitham juga banyak menulis mengenai filsafat, logika, metafisik, dan masalah keagamaan. Ia menulis ulasan dan ringkasan karya-karya ulama salaf. Tulisannya mengenai filsafat telah membuktikan keotentikan pemikiran sarjana islam dalam ilmu tersebut yang tidak lagi dibelenggu oleh pemikiran filsafat Yunani. Tulisannya banyak bertumpu pada aspek kebenaran dalam masalah yang menjadi pertikaian. Ia dengan tegas mengatakan bahwa kebenaran hanyalah satu. Bagi Ibnu Haitham, filsafat tidak boleh dipisahkan dengan matematika, sains, dan ketuhanan. Ketiga bidang ilmu ini harus dikuasai dengan baik jika ingin menemukan kebenaran. Demikianlah sosok Ibnu Al-Haitham sebagai ilmuwan pertama. Jika barat bersikap jujur, semestinya ia tercantum dalam The Great Scientists. Sesungguhnya barat harus berterima kasih kepada beliau dan kepada para sarjana islam karena tanpa mereka kemungkinan negara-negara Eropa masih diselimuti kegelapan.

0 komentar:

Posting Komentar