Senin, 27 Juni 2011

Sakit, Tetap bersyukur

Hampir setiap manusia pernah mengalami sakit. Karenanya, karunia berupa kesehatan selayaknya menjadikan manusia semakin bersyukur kepada-Nya bukan menjadikan takabur, apalagi menjadi kufur. Sakit, hendaklah tidak dimaknai dengan berbagai penafsiran negative. Sebab hal ini justru akan menggiring kepada perasaan su’udzan (buruk sangka) kepada Allah SWT, yang berakibat tidak saja memperlambat kesembuhan tapi juga mengundang kemurkaan-Nya. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Aku menuruti Persangkaan Baik Para Hamba Kepadaku. Hendaklah Ia Berprasangka Sekehendaknya. Apabila Ia Berprasangka Baik, Maka Akan Baik, Apabila Ia Berprasangka Buruk, Maka Akan Buruk Pula.” (HR. Thabrani). Jika berbaik sangka kepada-Nya, maka insyallah segala kesulitan akan menjadi mudah. Rasa sakit yang berat akan terasa lebih ringan. Memang, adakalanya penyakit itu menjadi cobaan, musibah, ataupun adzab. Namun, sebaliknya manusia tidak terburu memandang secara negatif. Hal yang perlu diperhatikan adalah mengambil hikmah dan faedahnya untuk memperbaiki kualitas hidup. Agar sakit tidak membuat stres tapi justru membahagiakan, maka kita harus melakukan beberapa langkah berikut:

Pertama, husnudzan (berprasangka baik) pada Allah SWT. Jika kita berprasangka baik kepada-Nya, maka Allah SWT pun akan husnudzan kepada kita. Hal ini yang kelak akan membawa konsekuensi positif bagi kesehatan dan di akhirat nanti rahmat-Nya dapat direngkuh. Husnudzan ini merupakan energi untuk memulihkan kondisi sakit.

Kedua, mengambil hikmah dan introspeksi diri. Terkadang sakit mampu menyadarkan seorang hamba pada hakikat kehidupan. Mengubah manusia menjadi sosok yang menurut Rasulullah SAW hamba “Al-Kayyis (cerdas). Sebagaimana yang pernah disabdakan Rasulullah SAW, hamba yang cerdas adalah hamba yang meletakkan ibadah untuk akhirat menjadi prioritas utama dalam hidupnya.

Tak jarang orang jahat atau ahli maksiat berubah menjadi lebih religius setelah ia didera penyakit. Kesadaran ini terbangun setelah ia bisa introspeksi diri. Musibah atau penyakit yang diderita hakikatnya merupakan teguran Allah agar seseorang itu kembali kepada Allah SWT. Suatu musibah yang dapat menyadarkan itu jauh lebih baik dari kesehatan yang melalaikan. Tentunya hamba yang mampu menggali hikmah dibalik sakit ini hanyalah hamba yang sabar dalam menghadapi penyakit ini. Tanpa sabar, seseorang tidak akan mampu menyibak hikmah dan fadhilah (keutamaan) penyakit yang dideritanya. Ia pun bahkan tidak dapat memperoleh apa-apa. Pahala tidak, kesembuhan pun barangkali akan lebih lama. Tidaklah semua musibah yang kita pandang buruk, akan buruk pula di sisi Allah SWT. Keburukan di benak manusia belum tentu buruk pula di sisi Allah SWT. “Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah:216).

Mengambil Hikmah

Selain akan membantu penyembuhan, dari sisi kesehatan, positive thinking memiliki nilai tak terhingga dibanding sembuh itu sendiri. Sebagian manusia memandang sakit sebagai sesuatu yang buruk. Namun, bagi manusia yang beriman, sudut pandang negatif itu tidak mendapat tempat. Sakit, baginya justru merupakan karunia. Inilah yang menyebabkan dia harus tetap tersenyum bahagia meski sedang sakit. Bagi yang sedang sakit, janganlah bersedih karena terdapat pahala yang cukup besar bagi orang yang tertimpa sakit.

Pertama, pahala dan ridha Allah mengalir kepada orang yang sakit. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Besar Pahala Itu Seimbang Dengan Besarnya Musibah. Apabila Allah Mencintai Suatu Kaum, Maka Ia Akan Mengujinya. Barangsiapa Yang Ridha, Maka Ia Mendapat Keridhaan Dan Barangsiapa Yang Benci, Maka Baginya Murka Allah.” (HR. Tirmidzi)

Kedua, sakit merupakan suatu kebaikan. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa Yang Dikehendaki Allah Suatu Kebaikan, Maka Dia Akan Memberi Orang Itu Cobaan.” (HR. Bukhari). Kebenaran sabda beliau sudah sering dibuktikan. Coba kita perhatikan betapa banyak orang yang fasiq, atau ahli maksiat, setelah tertimpa penyakit atau musibah tertentu. Ia bertobat kembali ke jalan yang benar. Saat sakit mendera, ia bermuhasabah merenungi kehidupan dan menyadari segala kesalahan. Bahkan banyak pula kisah orang masuk islam setelah ia sembuh dari sakitnya. Ini merupakan kehendak Allah SWT kepada hambanya agar hambanya menjadi orang yang baik. Dalam hal ini sakit menjadi pintu hidayah Allah SWT. Maka seyogyanya penderita sakit itu tidak stres apalagi depresi. Sebaliknya patut disyukuri. Sebab boleh jadi sakit itu membawanya kepada hidayah.

Ketiga, meraih derajat yang tinggi. Dlam hadis dijelaskan bahwasanya cobaan itu dapat mengantar kepada derajat yang tinggi. “Ada seorang hamba yang meraih kedudukan mulia di sisi Allah bukan karena amalnya. Allah member cobaan dengan sesuatu yang tidak ia sukai hingga ia dapat meraih derajat mulia tersebut.” (HR. Abu Ya’la)

Tidak ada seorang pun yang bebas penyakit. Sakit dan musibah adalah ketentuan Allah. Sakit bukan monopoli orang yang dianggap jelek. Semua manusia, para ulama dan Nabi pun mengalaminya. Bahkan para wali dan Nabi paling berat cobaannya. Semakin tinngi derajat seseorang, maka semakin berat pula cobaan yang diderita. Seorang mu’min yang ditimpa penyakit berat atau cobaan yang pedih tidaklah berarti menjadi pertanda bahwa ia tidak diridhai oleh Allah. Nabi Ayyub pun diberi cobaan yang paling berat. Tapi beliau orang yang tinggi di sisi-Nya. Nabi Ayyub as adalah seorang nabi yang patut dijadikan teladan bagi orang yang didera penyakit. Nabi Ayyub as adalah Nabi yang kaya raya serba berkecukupan dan bertubuh sehat. Namun, suatu ketika Allah SWT mengujinya dengan memberi penyakit, sehingga kekuatannya hilang. Tidak hanya itu, hartanya pun lambat laun berkurang. Yang lebih menyakitkan lagi istri dan anak-anaknya meninggalkan beliau. Kenyataan ini beliau alami selama kurang lebih delapan belas tahun. Jadilah beliau seorang yang terhinakan. Namun, bukan berarti Allah SWT merendahkan Nabi-Nya. Derajat dan kedudukan di sisi-Nya bahkan melesat jauh. Sebab beliau benar-benar menerima dengan kesabaran. Karena kesabarannya itulah, Allah SWT mengembalikan semua yang hilang. Kekuatan, kesehatan, harta, istri, anak, dan kerabat akhirnya kembali kepada beliau. Belajar dari kisah tersebut, kita sepatutnya menyadari bahwa kasih sayang Allah SWT begitu besar. Kasih sayang tidak selalu diwujudkan dalam bentuk harta melimpah, kekuatan dan kesehatan yang prima. Namun, terkadang Allah SWT mewujudkan perhatiannya dalam bentuk sesuatu yang menurut manusia ‘hina’ yaitu penyakit. Maka, hendaklah kita mengingat-ingat perbuatan ketika kita sehat dahulu. Agar bisa berintrospeksi diri untuk lebih mensyukuri nikmat kesehatan dan menambah semangat untuk bersabar serta sembuh.

0 komentar:

Posting Komentar